AKHLAK DALAM BERKELUARGA ( MAKALAH TUGAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM )



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
Islam mengajarkan kita untuk berbakti terhadap orang tua, karena dengan perantara orang tualah kita dapat merasakan hidup yang sekarang ini. Selain itu mengingat betapa mulianya, betapa kerasnya dan betapa banyaknya jasanya untuk memelihara dan mendidik kita dengan semua kasih sayang yang mereka miliki, bahkan marah merekapun merupakan suatu bentuk sayang yang tepat terhadap kita. sehingga dapat tumbuh besarlah kita seperti sekarang ini. Semua  karena kasih sayang yang meraka limpahkan untuk kita.

Mereka melakukan semuanya tanpa mengharap balasan dari kita, mereka melakukannya semata-mata untuk membuat kita menjadi yang terbaik. Perhatian mereka terhadap kita tidak akan pernah luntur, meskipun nanti kita sudah bisa hidup mandiri. Bahkan dalam hadits ditegaskan bahwa keridhoan Allah tergantung pada keridhoan orang tuanya.

B.    Rumusan Masalah.
Dalam makalah ini adapun masalah yang akan dibahas, yaitu sebagai berikut :
1.      Apa Birrul Walidain itu ?
2.      Apa saja kedudukan dari Birrul Walidain ?
3.      Apa saja bentuk-bentuk Birrul Walidain ?
4.      Apa itu Uququl Walidain ?

C.    Tujuan.

1.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama di Universitas Amikom Yogyakarta.
2.      Mengetahui lebih jauh tentang Akhlak Dalam Keluarga, yang meliputi :
3.      Untuk mengetahui arti dari Birrul Walidain.
4.      Untuk mengetahui apa saja kedudukan Birrul Walidain itu sendiri.
5.      Untuk mengetahui dan memahami bentuk-bentuk dari Birrul Walidain.
6.      Mengenal lebih jauh tentang Uququl Walidain.
BAB II
PEMBAHASAN

AKHLAQ DALAM KELUARGA
A.     BIRRUL WALIDAIN.
Istilah birrul walidain berasal langsung dari Nabi Muhammad saw. Dalam sebuah riwayat di sebutkan bahwa ‘Abdullah ibn Mas’ud (seorang sahabat Nabi yang terkenal) bertanya kepada Rasulullah saw tentang amalan yang paling disukai oleh Allah SWT, beliau menyebutkan : Pertama, sholat tepat pada waktunya, Kedua, birrul walidain dan, Ketiga, jihad fi sabillilah. Teks lengkapnya sebagai berikut :

“Diriwayatkan dari Abu’ Abdirrahman ‘Abdullah ibn Mas’ud ra,dia berkata : Aku bertanya kepada Nabi saw: Apa amalan yang paling disukai oleh Allah SWT ? Beliau menjawab “Shalat tepat pada waktunya”. Aku bertanya lagi : Kemudian apa ? Beliau menjawab “Birrul Walidain”. Kemudian aku bertanya lagi : Seterusnya apa ? Beliau menjawab “Jihad fi sabillilah”. (H.Mutaffaqun ‘alaih).

Birrul walidain terdiri dari kata birru dan al-walidain. Birru atau al birru artinya kebajikan ( ingat penjelasan tentang al-birru dalam surat Al-Baqarah ayat 177 ). Al Walidain artinya 2 orang tua atau ibu bapak. Jadi birrul walidan adalah berbuat kebajikan kepada kedua orang tua.
Semakna dengan birrul walidain, Alquran Al-Karim menggunakan istilah ihsan ( wabil walidaini ihsana ) ,seperti yang terdapat antara lain dalam surat Al-Isra’ ayat 23 :

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu Jangan menyembah selain  Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu Bapakmu dengan sebaik-baiknya...” (QS. Al-Isra’ 7:23)

B.     KEDUDUKAN BIRRUL WALIDAIN.
Birrul walidan menempati kedudukan yang istimewa dalam ajaran Islam. Ada beberapa alasan yang membuktikan hal tersebut antara lain :
1.      Perintah ihsan kepada ibu bapak diletakkan oleh Allah SWT di dalam Al-quran langsung sesuai perintah beribadah hanya kepadaNya semata-mata atau sesudah larangan mempersekutukannya. Allah berfirman :

“Dan ingatlah ketika kami mengambil janji dari Bani Israel yaitu : “janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak...” (QS. Al-Baqarah 2:83)
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak...” (QS. An Nisa’ 4:36)
“Katakanlah : “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak....”(QS. Al-An’am 6:151)

2.      Allah SWT mewasiatkan kepada umatnya manusia untuk berbuat ihsan kepada ibu bapak. Allah berfirman.

“Dan kami wasiatkan ( wajibkan ) kepada umat manusia supaya berbuat kebaikan kepada dua orang ibu bapak....”(QS. Al-Ankabut 29:8)
“Kami wasiatkan (wajibkan) kepada umat manusia supaya berbuat kebaikan kepada kedua orang ibu bapak...”(QS.Al-Ahqaf 46:15)

3.      Allah SWT meletakkan perintah berterima kasih kepada ibu bapak langsung sesudah perintah berterima kasih kepada Allah swt berfirman.

“Dan kami perintahkan kepada manusia (supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapak; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang semakin lemah, dan menuysukannya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada kulah kau kembalimu.”(QS.Luqman 31:14)

4.      Rasullulah saw meletakan birrul wallidain sebagai amalan nomor dua terbaik sesudah shalat tepat pada waktunya.

“Diriwayatkan dari Abu Abdirrahman Abdullah Ibn Mas’ud ra, dia berkata: “ Aku bertanya kepada Nabi saw: Apa amalan yang paling disukai oleh Allah SWT ?, Beliau menjawab: “ Shalat tepat waktunya” Aku bertanya lagi: Kemudian apa? Beliau menjawab: “Birrul Wallidain” Kemudian aku bertanya lagi: Seterusnya apa? Beliau menjawab: “jihad fi sabillilah.” (H.Muttafaqun’ alaih).

5.      Rasullulah saw meletakkan ‘uququl walidain’ (durhaka kepada dua orang tua ibu bapak) sebagai dosa besar nomor dua setelah syirik.

“Diriwayatkan oleh Abu Bakrah Nufa’i ibn al-Harris ra, dia berkata: “Rasulluah bersabda: “Tidakah akan aku beritahukan kepada kalian dosa – dosa yang paling besar? Beliau mengulangi lagi pertanyaan tersebut tiga kali. Kemudian para sahabat mengiyakan lalu rasullulah saw menyebutkan: “Yaitu mempersekutukan Allah durhaka kepada kedua ibu bapak “Kemudian beliau merubah posisi duduknya yang biasa dan berkata lagi: “Begitu juga perkataan dan sumpah palsu beliau mengulangi lagi hal yang demikian hingga kami mengharapkan mudah – mudahan beliau tidak menambahkannya lagi” (H.Muttafaqun’ alaih).

6.      Rasullulah saw mengaitkan keridhaan dan kemarahan Allah SWT dengan keridaan dan kemarahan orang tua. Beliau bersabda:

“Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua, dan kemarahan Rabb (Allah) ada pada kemarahan orang tua” (HR. Tirmidzi).

Demikianlah Allah dan Rasul-nya menempatkan orang tua pada posisi yang sangat istimewa sehingga berbuat baik kepada keduanya menempati posisi yang sangat istimewa dan mulia, dan sebaliknya durhaka kepada orang tua juga menempati posisi yang sangat hina. Hal ini demikian menurut hemat kita, mengingat jasa ibu bapak yang sangat besar sekali dalam proses reproduksi dan regenerasi umat manuasia. Allah SWT menciptakan manusia buat pertama kalinya nabi adam dari tanah, dan menciptakan pasanganya hawa dari tulang rusuk adam, kemudian dari pertemuan, begitulah seterusnya Allah SWT menetapkannya sunnahnya tentang reproduksi dan regenerasi secara sah dan diridhai nya tentang reproduksi dan regenerasi secara sah dan diridhai nya melalui hubungan suami isteri antara seorang ibu dan bapak.

Secara khusus Allah juga mengingatkan berapa besar jasa dan perjuangan seorang ibu dalam mengandung, menyusui, merawat dan mendidik anaknya, perhatikanlah kembali ungkapan Al-Quran tentang hal tersebut dalam surat Luqman ayat 14 sebagaimana yang sudah kita kutip di atas.

Kemudian bapak, sekalipun tidak ikut mengandung dan menyusui, tapi dia berperan besar dalam mencari nafkah, membimbing, melindungi, membesarkan dan mendidik anaknya hingga mampu berdiri sendiri. Bahkan sampai waktu yang tidak terbatas.

Berdasarkan semuanya itu,tentu sangat wajar, normal dan logis saja kalua si anak di tuntut untuk berbuat kebaikan sebaik-baiknya kepada kedua orang tuanya, dan dilarang keras untuk mendurhakai keduanya.














C.     BENTUK BENTUK BIRRUL WALIDAIN.

Banyak cara bagi seorang anak untuk dapat mewujudkan birrul wallidain tersebut ,antara lain sebagai berikut:
1.      Mengikuti keinginan dan saran orang tua dalam berbagai aspek kehidupan, baik masalah pendidikan,pekerjaan,jodoh maupun masalah lainnya. Tentu dengan satu catatan penting: selama keinginan dan saran saran itu sesuai dengan ajaran islam apalbila bertentangan atau tidak sejalan dengan ajaran islam, anak tidak lah punya kewajiban untuk mematuhinya bahkan harus menolaknya dengan cara yang baik, seraya berusaha meluruskannya hal demikian sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an:

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentang itu maka jangan lah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik..”(QS. Luqman 31:15).

Juga sesuai dengan penegasan dari Rasulullah saw bahwa:

“Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah ketaatan hanyalah semata dalam hal yang ma’ruf.” (HR. Muslim).

Dalam hal ini bias muncul problem, bagaimana kalau terjadi perbedaan pendapat dan keinginan antara orang tua dan anak dalam hal hal yang mubah atau dalam hal hal yang bersifat ijtihadiyah. Misalnya dalam menentukan perguruan tinggi mana yang akan dimasuki menentukan tempat bekerja atau seperti yang banyak terjadi yaitu perbedaan dalam menentukan jodoh.
Dalam kasus menentukan jodoh misalnya sering sering solusi yang diambil oleh si anak adalah menikah tanpa memberi tahu orangtua kalau hal itu dilakukan oleh seorang muslimah di samping dia melakukan pelanggaran akhlaq juga pelanggaran hukum (fiqih) karena seorang wanita harus dinikahkan oleh walinya atau petugas yang mendapatkan perwakilan dari walinya sedangkan kalau dilakukan oleh seorang pemuda muslim dari segi hukum (fiqih) tidak ada yang dilanggarnya (nikah sah) tapi bagaimana dari segi akhlaq? Bukankah dalam hal yang mubah seorang anak dituntut untuk patuh kepada kedua orang tuanya? Alasan yang sering dikemukakan untuk membenarkan tindakannya itu umumnya adalah tidak mau mungkir janji tidak mau mengecewakan calon isteri (karena sudah terlanjur berjanji) atau alasan alasan lainnya. Problem seperti itu muncul karena salah langkah sejak awal kenapa untuk memutuskan hal yang begitu penting dalam kehidupan ( memilih jodoh) tidak mengajak kedua orang tua bermusyawarah. Baru kalau sudah terbentur mengaku tidak mau mengecewakan calon isterinya. Apakah dia lebih mengutamakan mengecewakan kedua orangtua yang begitu besar jasanya, dibanding mengecewakan seorang wanita yang baru saja dia kenal dalam waktu yang relatif singkat ?
Dalam kasus kasus seperti di atas itulah akhlaq seorang anak terhadapa orang tuanya diuji. Maukah dia menomorduakan keinginannya demi untuk melaksanakan birrul udlidain ?
Namun demikian perlu juga dicatat bahwa orangtua yang bijaksana tidak akan begitu saja memaksakan keinginannya kepada anaknya disamping memang tidak ada orang tua yang tidak menginginkan yang terbaik untuk anaknya di sinilah diperlukan dialog dan keterbukaan. Hendaknya anak berusaha dengan maksimal dan argumentatif menjelaskan pilihannya tersebut, di samping mencoba secara tidak apriori memahami argumentasi pilihan orang tua. Tentu saja kedua orang tua harus membuka diri dan berusaha juga untuk memahami pilihan anak.

2.      Menghormati dan memuliakan kedua orang tua dengan penuh rasa terima kasih dan kasih sayang atas jasa – jasa keduanya yang tidak mungkin bisa di nilai dengan apapun.ibu yang mengandung dengan susah payah dan penuh penderitaan. Ibu yang melahirkan, menyusui, mengasuh, merawat, dan membesarkan. Bapak yang membanting tulang mencari nafkah untuk ibu dan anak – anaknya. Bapak yang menjadi pelindung uuntuk mendapatkan rasa aman. Allah SWT berwasiat kepada kita untuk berterima kasih kepada ibu bapak sesudah bersyukur kepada-Nya :

“Dan Kami wasiatkan (wajibkan) kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah – tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqmam 31:14).

Banyak cara untuk menunjukan rasa hormat kepada orang tua, antara lain memanggilnya dengan panggilan yang menunjukan hormat, berbicara kepadanya dengan lemah-lembut, tidak mengucapkan kata-kata kasar (apalagi kalau mereka berdua sudah lanjut usia), pamit kalau meninggalkan rumah (kalau tinggal serumah), memberi kabar tentang keadaankita dan menanyakan keadaanya lewat surat atau telepon (bila tidak tinggal serumah). Allah berfirman :
“...Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-sekali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membbentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra 17:23).

3.      Membantu ibu bapak secara fisik dan materiil. Misalnya sebelum berkeluarga dan mampu berdiri sendiri anak-anak membantu orang tua (terutama Ibu) mengerjakan pekerjaan rumah, dan setelah berkeluarga atau berdiri sendiri membantu orang tua secara finansial, baik untuk membeli pakaian, makanan, minuman, apalagi untuk berobat. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa berapapun banyaknya engkau mengeluarkan uang untuk membantu orang tuamu tidak sebanding dengan jasanya kepadamu :

“Tidak dapat seorang anak membalas budi kebaikan ayahnya, kecuali jika mendapatkan ayahnya ditawan menjadi hamba sahay, kemudian ditebus dan dimerdekakannya.” (HR. Muslim).

Rasulullah SAW juga menjelaskan bahwa orang tua (lebih-lebih lagi ibu) harus mendapatkan prioritas utama untuk dibantu dibandingkan orang lain. Hal itu diungkapkan beliau tatkala menjawab pertanyaan seorang sahabat :

“Siapakah yang paling berhak aku bantu dengan sebaik-baiknya? Jawab Nabi : “Ibumu”. Kemudian siapa? Jawab Nabi : “Ibumu”. Kemudian siapa? Jawab Nabi : “Ibumu”.Lalu siapa lagi? Jawab Nabi : “Bapakmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

4.      Mendo’akan ibu bapak semoga diberi oleh Allah SWT keampunan, rahmat, dan lain-lain sebagainya. Allah SWT menukilkan dalam Al-Qur’an do’a Nabi Nuh memintakan keampunan untuk orang tuanya, dan perintah kepada setiap anak untuk memohonkan rahmat Allah bagi orang tuanya.

“Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku...” (QS. Nuh 71:28).

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah : “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Isra 17:24).

5.   Setelah orang tua meninggal dunia, birrul walidain masih bisa diteruskan dengan cara antara lain :
      a. Menyelenggarakan jenazahnya dengan sebaik-baiknya.
      b. Melunasi hutang-hutangnya.
      c. Melaksanakan wasiatnya.
      d. Meneruskan silaturrahim yang dibinanya di waktu hidup.
      e. Memuliakan sahabat-sahabatnya.
      f. Mendo’akannya.
Seorang laki-laki dari Bani Salimah datang  dan bertanya kepada Rasulullah SAW :

“Ya Rasulullah, adakah sesuatu kebaikan yang masih dapat saya kerjakan untuk ibu bapak saya sesudah keduanya meninggal dunia? Rasulullah menjawab : “Ada, yaitu : Menshalatkan jenazahnya, memintakan ampun baginya, menunaikan janjinya, meneruskan silaturrahimnya dan memuliakan sahabatnya.” (HR. Abu Daud).

Demikianlah beberapa bentuk birrul walidain yang bisa kita lakukan terhadap kedua orang tua baik yang masih hidup, maupun yang sudah meninggal dunia.
D.    UQUQUL WALIDAIN.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa Allah SWT menempatkan perintah untuk birrul walidain langsung sesudah perintah untuk beribadah kepadaNya, maka sebaliknya Allah SWT pun menempatkan ‘uququl walidain sebagai dosa besar yang menempati ranking kedua sesudah syirik.
‘Uququl walidain artinya mendurhakai kedua orangtua. Istilah inipun berasal langsung dari Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan dalam salah satu haditz:

“Dosa-dosa besar adalah: Mempersekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, membunuh orang dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari).

Durhaka kepada kedua orang tua adalah dosa besar yang sangat dibenci oleh Allah SWT, sehingga azabnya disegerakan Allah di dunia ini. Hal ini dinyatakan oleh Rasulullah SAW:

“Semua dosa-dosa diundurkan oleh Allah ( azabnya ) sampai waktu yang dikehendaki-Nya kecuali durkaha kepada kedua orang tua, maka sesungguhnya Allah menyegerakan ( azabnya ) untuk pelaku-nya di waktu hidup di dunia ini sebelum dia meninggal." (HR.Hakim)

                              Dalam hadist lain Rasulullah saw menjelaskan bahwa Allah SWT tidak akan meridhai seseorang sebelum dia mendapatkan keridhaan dari kedua orang tuanya :

“Keridhaan Rabb ( Allah ) ada pada keridhaan orang tua, dan kemarahan Rabb ( Allah ) ada pada kemarahan orang tua” ( HR.Tirmidzi ).

                  Kita tentu dapat memahami kenapa Rasulullah saw mengaitkan keridhaan Allah dengan keridhaan orang tua dan memasukkannya ke dalam kelompok dosa-dosa besar, bahkan azabnya disegerakan di dunia; hal itu mengingatkan betawa istimewanya kedudukan orang tua terhadap anaknya. Jasa itu tidak bisa diganti dengan apapun. Misalkan ada seorang ibu melahirkan anak, dia pergi meninggalkan dan tidak peduli dengannya. Begitu juga kalau ada seorang bapak yang tidak bertanggung jawab sama sekali terhadap anak-anaknya, bahkan tidak pernah melihatnya setelah anak itu lahir. Sekalipun  seorang anak tetap saja tidak boleh memungkiri bahwa mereka adalah ibu bapaknya, dan untuk itu dituntun untuk berbuat baik kepada mereka. Apalagi kalau ibu bapaknya melaksanakan kewajibannya sebagai orang tua dengan sebaik-baiknya. Wajar kalau Allah mangaitkan keridhaan dan kemarahan-Nya dengan keridhaan dan kemarahan orang tua.

                   Kita perlu membaca dan merenungkan kembali kisah anak-anak yang durhaka kepada orang tuanya, betapa pun ringannya bentuk pendurhakaannya itu, dan betapa pun rajinnya dia beribadah seperti kisah Juraij dan Alqamah. Juraij yang menjadi korban fitnah orang-orang yang iri hati kepadanya karena dia tidak mengindahkan panggilan ibunya dan alqamah yang tidak bisa menirukan talqin kalimat suci la ilaha illallah menjelang ajalnya karena dosanya mengutamakan isterinya daripada ibu kandunya sendiri. Dan banyak lagi kisah-kisah nyata, maupun hanya sekedar legenda seperti hikayat Si Malin Kundang Anak Durhaka, atau Sampuraga dan lain-lainnya.

                  Adapun bentuk pendurhakaan terhadap orang tua bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, mulai dari mendurhaka di dalam hati, mengomel, mengatakan ah , berkata kasar, menghardik, tidak menghiraukan panggilannya, tidak pamit, tidak patuh dan bermacam-macam tindakan lain yang mengecewakan atau bahkan menyakitkan hati orang tua. Di dalam surat Al-isra’ ayat 23 diungkapkan oleh Allah dua contoh pendurhakaan kepada orang tua. Yaitu mengucapkan kata uffin ( semacam keluhan dan ungkapan kekesalan yang tidak mengandung arti bahasa apapun ) dan menghardik ( lebih-lebih lagi bila kedua orang tua sudah berusia lanjut ):

 “...Jika salah seoang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam peliharanmu ,maka sekali kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” ( QS. Al-Isra’ 17:23 ).

                   Demikianlah,sebagai penutup bahasan tentang birrul waalidain ini marilah kita berdo’a kepada Allah SWT:

“Ya allah, ampunilah dosa-dosaku dan dosa-dosa ibu bapakku, dan kasihilah keduanya sebagaimana mereka mengasihiku di waktu aku masih kecil”.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan.

Birrul walidain adalah kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh seorang anak kepada kedua orang tuanya. Lawan dari Birrul Walidain adalah Uququl Walidain yaitu durhaka kepada kedua orang tua, berbuat kejelekan dan menyianyiakan hak.
                  Berbuat baik kepada orang tua merupakan kewajiban seorang anak. Sehingga kita berkewajiban melaksanakan apa yang telah diperintahkan dalam Al Quran dan As Sunnah.
Ketika orang tua telah meninggal dunia, maka tidak ada yang diharapkan dari yang hidup kecuali apa-apa yang bisa memberikan manfaat kepada akhirat­nya, berupa pahala dan yang dapat menyelamatkannya dari siksa.

B.    Saran
Diharapkan kepada kita semua agar menghormati dan menyayangi Orang Tua kita kapanpun dan dimanapun kita berada, berbaktilah kepada kedua orang tua dan janganlah kita durhaka kepada keduanya.
Hasil gambar untuk keluarga muslim











DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI).

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.